C&R TV – Dalam upaya memahami dinamika yang terjadi dalam tubuh Hamas, teori Dialektika Hegel (1770-1831) menjadi relevan. Dalam konteks ini, pembunuhan terhadap Ismail Haniyeh, pemimpin Biro Politik Hamas, tidak hanya menjadi kehilangan personal bagi organisasi tersebut, tetapi juga merupakan titik balik strategis yang penuh konsekuensi bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk Israel dan sekutu-sekutunya. Upaya untuk mencapai perdamaian sejati di Timur Tengah tampaknya akan menghadapi jalan terjal yang dipengaruhi oleh perubahan kepemimpinan ini.
Pergantian Kepemimpinan
Ismail Haniyeh dikenal sebagai tokoh moderat dalam Hamas, yang lebih mengutamakan pendekatan diplomatik dalam perjuangan Palestina. Namun, pembunuhannya membuka jalan bagi suksesi Yahya Sinwar, seorang tokoh yang memiliki pandangan lebih keras dan tegas. Pergantian ini ibarat memukul batu cadas dengan paku jendela—tidak hanya sia-sia, tetapi juga berisiko merusak alat yang digunakan.
Menurut teori Dialektika Hegel, yang dikenal dengan konsep ‘tesis-antitesis-sintesis’, pergeseran dari kepemimpinan moderat ke radikal ini merupakan bentuk dari antitesis yang secara alami muncul dari kebuntuan dalam negosiasi dan ketidakadilan yang terus-menerus terjadi di Palestina. Sejarah mengajarkan bahwa radikalisme sering kali tumbuh subur di tengah ketidakadilan dan kebuntuan politik, dan pergantian kepemimpinan ini berpotensi memperkuat radikalisme di kawasan tersebut.
Reaksi Internasional
Pembunuhan Haniyeh tidak hanya menimbulkan gejolak di internal Hamas, tetapi juga memicu reaksi keras dari komunitas internasional. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dilaporkan sangat marah atas insiden ini dan langsung menelepon Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menyampaikan ketidakpuasannya. Biden menyatakan bahwa kematian Haniyeh telah menghambat upaya gencatan senjata yang tengah diupayakan oleh para mediator internasional. Namun, Netanyahu menegaskan bahwa pembunuhan ini akan menekan Hamas dan memaksa mereka untuk mempertimbangkan negosiasi yang lebih menguntungkan Israel.
Di sisi lain, para pengamat Timur Tengah menilai bahwa kematian Haniyeh justru akan memperkeras sikap Hamas. Sebagai seorang pemimpin yang dianggap “cair” dan moderat, Haniyeh memiliki peran penting dalam mengarahkan Hamas menuju negosiasi. Kehilangan dirinya dan Saleh Al-Aroury, wakilnya yang juga moderat, membuat Hamas kini kekurangan tokoh-tokoh yang bisa memediasi antara garis keras dan diplomasi.
Bangkitnya ‘Sinwar & Sinwar’
Kepemimpinan Yahya Sinwar, seorang alumnus Universitas Islam Gaza yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan Palestina, mengubah arah Hamas. Sinwar, yang sebelumnya memimpin sayap militer Hamas, Izzeddin Al Qassam, kini memegang kendali Biro Politik Hamas. Meski posisinya kini lebih banyak berurusan dengan aspek diplomasi, latar belakang militernya tetap mempengaruhi pendekatannya dalam menghadapi Israel.
Lebih jauh lagi, ada kemungkinan bahwa adik Yahya Sinwar, Mohammed Sinwar, akan mengambil alih kepemimpinan sayap militer Hamas setelah kematian Mohammad Deif, yang masih belum terkonfirmasi oleh pihak Hamas. Jika ini terjadi, Hamas akan dipimpin oleh duet ‘Sinwar & Sinwar’, yang berpotensi memperkuat garis perlawanan baik di meja perundingan maupun di medan tempur.
Masa Depan Hamas dan Timur Tengah
Dialektika Hegel mengajarkan bahwa sejarah adalah proses yang berkelanjutan, di mana tesis, antitesis, dan sintesis terus berulang. Dalam konteks Hamas, transformasi kepemimpinan ini merupakan bagian dari proses yang lebih besar dalam perjuangan Palestina dan konflik dengan Israel. Pilihan antara melanjutkan negosiasi atau memperpanjang konflik kini menjadi taruhan besar, baik bagi Hamas, Israel, maupun kekuatan-kekuatan internasional yang terlibat.
Dengan Yahya Sinwar di pucuk pimpinan, dan kemungkinan adiknya mengisi posisi strategis di sayap militer, Hamas berada di persimpangan jalan yang akan menentukan arah perjuangan mereka di masa depan. Apakah Hamas akan mampu merumuskan sintesis baru yang mendukung perdamaian, atau justru memperkuat antitesis berupa perlawanan bersenjata, akan menjadi pertanyaan utama dalam konflik yang tampaknya tidak akan berakhir dalam waktu dekat.