Kisruh internal Partai Golkar yang bermula sejak mundurnya Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum mulai menemukan titik terang. Munculnya satu nama sebagai calon kuat Ketua Umum dalam Munas Golkar mendatang menjadi sinyal bahwa kepemimpinan partai ini tengah mengalami perubahan signifikan. Namun, perubahan ini bukan tanpa kontroversi, terutama terkait dugaan kuat adanya campur tangan penguasa dalam proses tersebut.
Kepemimpinan Golkar yang selama ini dianggap kokoh di bawah kendali Airlangga Hartarto seakan tak berdaya menghadapi tekanan eksternal. Banyak pihak menduga, kepemimpinan partai ini berhasil direbut dengan mudah oleh kekuatan politik yang lebih besar. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia, terutama jika intervensi semacam ini menjadi preseden bagi partai-partai lainnya.
Masyarakat melihat posisi Airlangga Hartarto sebagai sosok yang kuat, didukung oleh seluruh pengurus dan kader di DPD. Bahkan, permintaan agar Airlangga melanjutkan kepemimpinannya terdengar lantang dari berbagai daerah. Di bawah kendalinya, Golkar berhasil menjadi partai terkuat dalam koalisi pemenang, baik di tingkat Pileg maupun Pilpres.
Namun, kekuasaan Airlangga yang tampak kokoh tersebut kini dipertanyakan. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang begitu dominan dan berprestasi bisa dilengserkan begitu saja? Dalam hal ini, masyarakat pun mulai mempertanyakan keadaan demokrasi Indonesia saat ini. Jika penguasa mampu membajak kepemimpinan partai sekelas Golkar, maka apakah ini pertanda bahwa demokrasi Indonesia sedang berada di ujung tanduk?
Golkar, sebagai partai terbesar di koalisi pemenang, dikenal sebagai partai kader yang terbuka, bukan partai yang dikuasai oleh dinasti politik tertentu. Dengan sejumlah teknokrat dan politisi berpengalaman yang telah menghabiskan puluhan tahun di dunia politik, seharusnya Golkar mampu bertahan dari segala bentuk intervensi. Namun kenyataannya, ancaman penguasa tampaknya tetap menjadi bayang-bayang yang tak terhindarkan.
Jika kepemimpinan Golkar berhasil digoyahkan oleh kekuatan eksternal, maka ini bukan hanya masalah internal partai, melainkan pertanda bahwa demokrasi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Demokrasi dalam bahaya, dan tindakan penguasa yang sewenang-wenang ini bisa menjadi sinyal buruk bagi masa depan politik tanah air.
Airlangga Hartarto mungkin telah meninggalkan posisinya sebagai Ketua Umum, tetapi pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah ini akhir dari demokrasi yang kita kenal? Golkar mungkin menjadi saksi pertama dari kehancuran tatanan politik yang lebih luas di Indonesia.
Dengan segala dinamika yang terjadi, masyarakat perlu mewaspadai bahwa campur tangan penguasa dalam urusan internal partai politik dapat berujung pada hilangnya esensi demokrasi itu sendiri. Apa yang terjadi pada Golkar bisa menjadi gambaran dari ancaman yang lebih besar terhadap demokrasi Indonesia.
(red/Ivan)