C&R TV, Jakarta – Merasa sering lupa, sulit fokus, atau pikiran terasa lambat? Bisa jadi itu bukan sekadar kelelahan, melainkan gejala brain fog—kondisi yang makin sering dialami masyarakat modern di tengah tekanan hidup dan aktivitas serba cepat.
Brain fog bukan istilah medis resmi, tapi para ahli menyebutnya sebagai gangguan kognitif ringan. Orang yang mengalaminya merasa otaknya “berkabut”, seperti berpikir di tengah lumpur. Konsentrasi menurun, mudah lupa, hingga kesulitan mengambil keputusan jadi keluhan umum.
Dalam survei terhadap lebih dari 25 ribu responden, mayoritas mengaku pernah mengalami gejala ini, terutama setelah sakit atau saat berada di bawah tekanan berat.
“Ini seperti berjalan di dalam lumpur secara mental,” tulis peneliti dalam jurnal Frontiers in Human Neuroscience.
Pemicu Brain Fog: Dari Virus hingga Kurang Tidur
Salah satu pemicu utama brain fog adalah infeksi virus, terutama COVID-19. Istilah long COVID bahkan identik dengan kabut otak. Selain itu, kondisi medis seperti lupus, diabetes, dan efek samping kemoterapi juga bisa menyebabkan gangguan ini.
Faktor psikologis seperti stres, depresi, kecemasan, trauma, hingga gangguan bipolar dan ADHD juga turut memperparah kondisi. Pola tidur pun berpengaruh besar. Kurang tidur atau gangguan tidur seperti sleep apnea dapat membuat otak kekurangan oksigen.
Tak kalah penting, pola makan buruk juga berdampak. Terlalu banyak gula, kurang vitamin B kompleks, zat besi, hingga omega-3 bisa mengganggu daya pikir. Pada perempuan, perubahan hormon saat PMS, kehamilan, atau menopause kerap memicu brain fog.
Yang mulai banyak dibicarakan adalah hubungan antara kesehatan usus dan fungsi otak. Ketidakseimbangan mikrobioma usus dapat menyebabkan peradangan sistemik yang memengaruhi kognisi.
Cara Mengusir Kabut: Kembali ke Gaya Hidup Sehat
Meski menjengkelkan, brain fog bisa dipulihkan. Kuncinya ada pada gaya hidup. Istirahat cukup, konsumsi makanan bergizi, rutin bergerak, dan hidrasi cukup dapat membantu otak bekerja lebih optimal.
Cobalah tidur setidaknya tujuh jam setiap malam, kurangi multitasking, dan beri jeda antar pekerjaan. Aktivitas seperti meditasi, teknik pernapasan dalam, dan membatasi paparan media sosial juga membantu meredakan beban mental.
Jadwalkan pekerjaan penting saat pagi hari, saat otak masih segar. Bila perlu, konsultasi ke dokter atau ahli gizi bisa membantu menemukan kekurangan nutrisi atau hormon yang mungkin berperan.
Dalam beberapa kasus, terapi tambahan seperti neurofeedback atau suplemen bisa diperlukan, terutama bila gejala tak kunjung membaik.
\Brain fog bukan sekadar kelelahan biasa. Jika terus dibiarkan, bisa jadi sinyal awal gangguan serius. Merawat otak sama pentingnya dengan menjaga fisik. Jangan tunggu sampai aktivitas harian terganggu, saatnya dengarkan sinyal tubuh Anda.