C&R TV, Jakarta – Pernah merasa seperti sedang menonton diri sendiri dari luar tubuh? Atau merasa dunia di sekitar tampak seperti ilusi? Fenomena ini dikenal sebagai Detachment Syndrome, dan makin banyak terjadi di era digital yang serba cepat dan penuh tekanan.
Detachment syndrome merupakan istilah umum untuk dua kondisi psikologis: depersonalization (rasa terpisah dari diri sendiri) dan derealization (merasa lingkungan tampak tidak nyata). Menurut pedoman DSM-5, ini termasuk dalam gangguan disosiatif bernama Depersonalization/Derealization Disorder (DPDR).
Orang yang mengalaminya tetap bisa beraktivitas, berbicara, bahkan tersenyum. Tapi secara mental, mereka merasa seperti “melayang” atau tidak hadir sepenuhnya. Bagaikan sedang menjalani hidup di mode autopilot.
Gejala ini bisa berlangsung singkat atau berbulan-bulan, dan kerap disalahpahami sebagai stres biasa, kelelahan, atau efek obat. Tak jarang pula disamakan dengan gangguan cemas atau depresi ringan.
Dipicu Trauma, Kecemasan, dan Gaya Hidup Digital
Penyebab utama dari detachment syndrome umumnya berkaitan dengan stres berat atau trauma mendalam—misalnya kecelakaan, kekerasan, atau kehilangan orang tercinta. Namun, kondisi ini juga bisa muncul akibat serangan panik, kurang tidur kronis, atau konsumsi zat tertentu seperti alkohol, ketamin, atau LSD.
Yang mengejutkan, era digital ternyata turut berperan. Paparan terus-menerus terhadap media sosial, multitasking tanpa jeda, dan ekspektasi hidup yang tidak realistis membuat otak mudah terjebak dalam “mode bertahan”, yang memicu gejala disosiatif.
Mereka yang memiliki riwayat trauma masa kecil, depresi, atau gangguan kepribadian tertentu pun lebih rentan mengalami kondisi ini.
Gejala-Gejala Halus yang Sering Diabaikan
Tak semua orang sadar sedang mengalami detachment. Gejalanya sering kali halus dan samar. Misalnya:
- Merasa seperti berada di luar tubuh sendiri
- Dunia tampak buram atau berjalan lambat
- Tidak bisa terkoneksi secara emosional
- Sulit mengingat kejadian baru-baru ini
- Perasaan hampa atau terputus dari realita
Kondisi ini bisa membuat penderitanya merasa terasing meskipun secara fisik tampak baik-baik saja. Inilah yang membuat detachment syndrome kerap terlambat ditangani, karena disalahartikan sebagai kelelahan biasa.
Data, Studi, dan Harapan Pemulihan
Data dari National Alliance on Mental Illness (NAMI) menunjukkan, sekitar 2% populasi dunia pernah mengalami episode detachment serius. Bahkan, lebih dari setengah orang dewasa pernah merasakan sensasi disosiatif, meski hanya sebagian kecil berkembang menjadi gangguan kronis.
Kabar baiknya, studi dari UCLA Mindful Awareness Research Center tahun 2020 menemukan bahwa praktik mindfulness secara rutin terbukti membantu mengurangi gejala ini. Kesadaran penuh atas momen saat ini bisa membawa pikiran kembali ke tubuh, dan menciptakan rasa “terhubung” kembali.
Bisa Disembuhkan dengan Langkah Sederhana
Penanganan detachment syndrome tidak selalu memerlukan obat. Terapi kognitif-perilaku (CBT) dan latihan grounding menjadi pendekatan yang banyak disarankan. Misalnya, menyebutkan lima hal yang bisa kamu lihat, dengar, dan rasakan saat ini—sederhana, tapi efektif mengembalikan kesadaran.
Langkah lainnya adalah:
- Tidur cukup dan berkualitas
- Kurangi paparan media sosial yang tidak perlu
- Sediakan waktu istirahat mental dari aktivitas multitasking
- Konsultasi dengan psikolog atau psikiater meski hanya sekali
Detachment bukan bentuk kelemahan mental. Ini adalah cara tubuh memberi sinyal bahwa ada yang perlu diperhatikan. Dengan penanganan yang tepat, kamu bisa kembali merasa utuh, sadar, dan hadir penuh dalam kehidupan sehari-hari.