Dalam rombongan berjumlah sekitar delapan sampai dua belas orang itu, kondisi makin memburuk. Dua pendaki harus kembali di tengah perjalanan, ada yang kakinya terkilir, dan beberapa lainnya terpaksa berjalan dengan bantuan. Kondisi inilah yang membuat mereka memutuskan hanya sampai di Plawangan sebelum turun ke danau keesokan harinya.
Pentingnya Menjaga Ritme dan Kebersamaan
Saykoji menjelaskan bahwa beratnya pendakian sangat tergantung pada ritme dan kesiapan fisik masing-masing. Medan savana yang panjang dan bukit penyesalan menjadi momok tersendiri. Apalagi jika tertinggal dari rombongan dan tiba di pos pendakian saat hari sudah gelap, seperti yang ia alami.
Mereka juga menekankan pentingnya mendaki secara berpasangan dan selalu menjaga kebersamaan. Tessy menambahkan, walaupun sudah beberapa kali naik gunung, mereka tetap menganggap diri sebagai pemula dan tak pernah nekat mendaki sendirian. Sweeper atau penjaga rombongan paling belakang pun jadi kunci keselamatan saat melewati jalur ekstrem.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa mendaki gunung bukan soal ego mencapai puncak, tapi juga soal menjaga diri dan tim tetap aman. Bagi Saykoji dan Tessy, pengalaman gagal summit itu justru jadi pelajaran berharga yang membentuk kebersamaan mereka sebagai pasangan.