C&R TV – Meskipun sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditunda, aksi demonstrasi yang digelar di depan Gedung DPR Jakarta terus berlangsung dengan penuh semangat. Para mahasiswa dan berbagai lapisan masyarakat turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap revisi Undang-Undang Pilkada yang tengah dibahas oleh DPR.
Suasana di sekitar Gedung DPR sangat dinamis, Mahasiswa dari berbagai universitas termasuk Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Kristen Indonesia (UKI), terlihat aktif berorasi dan menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap perubahan yang diusulkan. Aksi ini menjadi puncak dari ketidakpuasan yang telah lama berkembang terkait dengan revisi undang-undang Pilkada.
Revisi undang-undang tersebut sebelumnya telah ditetapkan oleh badan legislasi DPR RI, dan dianggap oleh banyak pihak sebagai langkah yang tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK menetapkan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 25% dari suara sah. Namun, revisi yang diusulkan DPR mengubah ambang batas tersebut menjadi antara 6,5% hingga 10% dari suara sah. Banyak pihak, termasuk mahasiswa dan tokoh masyarakat, merasa bahwa perubahan ini akan merusak sistem demokrasi di Indonesia.
Di tengah keramaian aksi, sejumlah tokoh masyarakat juga ikut hadir untuk memberikan dukungan dan orasi. Mereka menganggap revisi ini sebagai langkah mundur yang akan mempengaruhi kualitas demokrasi dan mengurangi peluang bagi kandidat-kandidat kepala daerah yang berkualitas. Kritik keras juga dilontarkan terhadap DPR yang dianggap tidak mematuhi putusan MK dan lebih mementingkan kepentingan politik tertentu ketimbang kepentingan rakyat.
Aksi ini tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga berbagai kelompok masyarakat lainnya, termasuk buruh. Beberapa kelompok buruh yang juga hadir dalam aksi tersebut menyampaikan ketidakpuasan mereka dengan tegas. Mereka menilai bahwa revisi ini mengabaikan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan memperbesar kemungkinan adanya calon kepala daerah yang tidak memenuhi syarat kualitas.
Dalam pernyataannya, seorang mahasiswa yang terlibat dalam aksi mengkritik DPR dengan keras, menyebut mereka sebagai “pengkhianat rakyat” dan menyatakan bahwa DPR tidak lagi mewakili kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Mahasiswa terus berjuang meskipun cuaca terik, menunjukkan tekad mereka untuk memperjuangkan hak-hak demokrasi dan menolak setiap perubahan yang dianggap merugikan.
Sementara itu, Gedung DPR yang seharusnya menjadi tempat bagi penyaluran aspirasi rakyat malah menjadi pusat perdebatan yang hangat. Aksi ini menyoroti ketegangan antara lembaga legislatif dan rakyat yang semakin mengemuka dalam konteks pembahasan revisi undang-undang Pilkada.
Dengan aksi yang semakin ramai dan dukungan yang luas dari berbagai kalangan, tuntutan para demonstran semakin jelas: mereka ingin agar DPR menghormati keputusan MK dan tidak mengubah ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang sudah ditetapkan. Aksi ini mencerminkan kegelisahan masyarakat terhadap proses legislatif yang dinilai tidak transparan dan tidak responsif terhadap aspirasi rakyat.
Para peserta aksi dan jurnalis akan terus memantau perkembangan situasi ini, menunggu keputusan lebih lanjut dari DPR terkait revisi undang-undang Pilkada yang menjadi topik utama perdebatan dan demonstrasi ini.