C&R TV Jakarta – Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) resmi mencabut nama mantan Presiden Soeharto dari TAP MPR nomor 11 tahun 1998, yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Keputusan ini diambil dalam sidang paripurna akhir masa jabatan anggota MPR periode 2019-2024, dan langsung menuai kritik dari kalangan politikus.
Guntur Romli, politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), menilai keputusan MPR tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap gerakan reformasi yang telah menumbangkan rezim Soeharto. Ia mengatakan, “Ini adalah upaya memalsukan sejarah dan mengkhianati gerakan reformasi. Reformasi terjadi karena perlawanan terhadap Soeharto, termasuk dalam kasus KKN.”
Dalam sidang tersebut, MPR juga mencabut ketetapan MPR No. 33 tahun 1977 yang sebelumnya menuduh Presiden Sukarno tidak setia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pencabutan ini diharapkan dapat memulihkan nama baik Sukarno, proklamator dan Presiden pertama Indonesia.
Alasan pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No. 11/1998 adalah karena yang bersangkutan telah meninggal dunia pada 27 Januari 2008. Pasal 4 dari TAP MPR tersebut secara eksplisit menyebut nama Soeharto dalam konteks pemberantasan KKN bagi pejabat negara. Meskipun status hukum TAP MPR No. 11/1998 masih berlaku, MPR menilai bahwa penyebutan nama Soeharto tidak relevan lagi.
Guntur Romli menambahkan, “Ini sangat menyakitkan dan bisa disebut sebagai kecolongan. MPR seharusnya lebih fokus pada substansi daripada merubah sejarah yang telah terjadi. Kita tidak bisa melupakan bahwa gerakan reformasi lahir dari perlawanan terhadap praktik-praktik KKN yang terjadi pada era Soeharto.”
Keputusan ini menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat dan politisi, dengan beberapa pihak menilai bahwa tindakan MPR dapat mengubah pemahaman sejarah yang telah ada. Penetapan baru ini menjadi sorotan utama menjelang Pilkada, di mana perhatian publik tengah terfokus pada pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah.
Dengan adanya pencabutan ini, MPR berharap dapat memperjelas posisi sejarah Indonesia, namun tetap harus mempertimbangkan implikasi dari keputusan tersebut terhadap gerakan reformasi dan ingatan kolektif masyarakat.