Paula Versus Baim: Saat Air Mata Jadi Kemenangan, dan Hukum Menjadi Jalan Terakhir

Oleh Redaksi C&R

Di balik gemerlap dunia hiburan, ada kisah kelam yang tak selalu terpancar di layar kaca. Kali ini, sorotan tertuju pada rumah tangga pasangan selebritas—Baim dan Paula. Setelah menjadi keluarga konten yang kerap menuai simpati publik, kini mereka berada di pusaran konflik yang mengundang perhatian nasional. Percekcokan yang berujung pada gugatan cerai, tudingan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perselingkuhan, hingga fitnah Human Immunodeficiency Virus (HIV), menjadi potret keretakan yang nyaring di telinga publik.

Bacaan Lainnya

Salah satu praktisi hukum Farhat Abas angkat bicara. Dalam sebuah wawancara, ia memberikan pandangannya secara terbuka.

“Kalau saran saya buat Paula, tinggalkan saja Baim. Lupakan, biar Tuhan yang membalas. Masa depannya akan lebih baik,” ujarnya tegas.

Menurutnya, kasus KDRT yang sudah lama ini seharusnya dapat ditangani lebih awal. Ia bahkan menyayangkan jika sejak awal bukan dirinya yang menjadi kuasa hukum Paula, kondisi hukum mungkin tidak akan seburuk sekarang.

Paula kini disebut tengah berjuang di ranah hukum, mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Agama. Meski belum inkrah, ia merasa ketidakadilan mendominasi vonis tersebut. Hal itu terutama karena tuduhan-tuduhan terhadap dirinya, seperti dugaan HIV dan perselingkuhan, tidak disertai bukti kuat maupun saksi ahli.

“Kalau memang hakim mengambil kesimpulan tanpa data medis yang jelas dan tanpa saksi ahli, laporkan ke badan pengawas. Itu pelanggaran,” lanjut sang praktisi hukum.

Rekaman percakapan yang bocor ke publik turut menjadi bahan perdebatan. Baim disebut merekam dan menyebarkan percakapan pribadi mereka. Meskipun Paula belum merasa dirugikan secara personal, hukum tetap memungkinkan adanya pelaporan atas dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE.

“Baim memanfaatkan peristiwa rumah tangga untuk membangun citra dirinya sebagai laki-laki baik. Padahal dampaknya mendiskreditkan Paula,” ujar Farhat Abas.

Kisah ini juga memantik isu eksploitasi konten demi keuntungan materi. Sebagai “keluarga konten”, konflik pribadi yang seharusnya diselesaikan secara tertutup kini justru disiarkan ke publik.

“Daripada ngonten dari aib orang, lebih baik dari aib sendiri. Yang penting dapat miliaran,” ia menyindir.

Meski begitu, ia melihat kekuatan dalam kelemahan. Air mata Paula tidak ia anggap sebagai tanda kekalahan. Justru menurutnya, itulah bentuk kemenangan sejati seorang perempuan.

“Jangan remehkan air mata perempuan. Menangis itu tanda menang. Paula menang karena ia terbebas dari beban pura-pura dan bisa kembali jadi dirinya sendiri,” tuturnya dengan nada simpati.

Paula pun disarankan untuk kembali mengejar karier, bahkan di level internasional. Ia digambarkan sebagai sosok kuat yang berhak atas kehidupan baru.

“Dia bisa jadi peragawati, artis, bahkan internasional. Saya siap jadi sekretaris hukumnya kalau ada yang berani macam-macam,” candanya setengah serius.

Ketika ditanya soal langkah hukum lanjutan yang bisa diambil, ia menekankan pentingnya menyerang balik secara strategis. Misalnya, melaporkan penyebar fitnah HIV jika terbukti mencemarkan nama baik.

“Kalau ada yang bilang Paula HIV tanpa bukti medis, itu fitnah berat. Bisa dipidana,” ujarnya lugas.

Konflik antara Baim dan Paula bukan hanya soal perasaan yang terluka, tetapi kini telah menjadi medan pertempuran hukum yang rumit. Tuduhan saling bertubi-tubi, opini publik yang terbelah, serta narasi media sosial yang liar menjadikan kasus ini tidak sederhana.

Namun satu hal yang ditekankan oleh narasumber hukum ini: dalam dunia yang menjadikan aib sebagai tontonan, yang menang bukanlah yang paling lantang, tapi yang tetap tegar saat dihancurkan.

“Yang menang itu bukan yang tertawa, tapi yang menangis. Dan Paula, dengan segala air matanya, adalah pemenangnya,” pungkasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *