Pavel Durov, pendiri sekaligus CEO dari aplikasi pesan instan Telegram, dilaporkan telah ditangkap di Bandara Bourget, Prancis. Kejadian ini berlangsung segera setelah ia turun dari jet pribadinya, menurut laporan dari BFM TV. Penangkapan Durov terkait dengan tuduhan kurangnya moderasi konten di platform tersebut, yang oleh beberapa pihak dianggap memfasilitasi aktivitas ilegal seperti pencucian uang, perdagangan narkoba, hingga penyebaran konten pedofilia.
Sejak dikeluarkannya surat perintah penangkapan oleh otoritas Prancis, Durov dikabarkan telah menghindari perjalanan rutin ke Eropa. Kasus ini menggarisbawahi kontroversi yang selama ini menyelimuti Telegram, terutama terkait masalah regulasi dan keamanan konten.
Telegram telah menjadi salah satu aplikasi terkemuka, terutama di Rusia, Ukraina, dan negara-negara bekas Uni Soviet. Bahkan, platform ini bersaing di jajaran aplikasi media sosial teratas bersama Facebook, YouTube, WhatsApp, Instagram, TikTok, dan WeChat.
Sejak peluncurannya pada 2013, Telegram telah berkembang pesat dan kini memiliki lebih dari 950 juta pengguna aktif. Aplikasi ini memungkinkan penggunanya untuk mengirim pesan, foto, video, dan membentuk grup yang mampu menampung hingga 200.000 akun. Salah satu fitur yang paling menarik perhatian adalah kemampuan untuk melakukan obrolan rahasia, di mana pesan hanya disimpan di perangkat dan dapat diatur untuk menghancurkan diri setelah periode tertentu. Fitur ini sering dianggap sebagai jaminan privasi bagi para penggunanya.
Namun, netralitas Telegram dalam urusan geopolitik membuatnya semakin kontroversial. Pada 2014, Durov meninggalkan Rusia setelah menolak tuntutan pemerintah untuk menutup komunitas oposisi di platformnya. Sejak saat itu, Durov bersikeras bahwa Telegram akan tetap netral dan tidak tunduk pada tekanan politik.
“Kami tetap berkomitmen untuk menjaga platform ini sebagai ruang yang netral dalam konflik geopolitik,” tegas Durov dalam sebuah wawancara pada 2020, menunjukkan keengganannya untuk tunduk pada tuntutan pemerintah manapun.