Pelanggaran Konstitusi oleh DPR: Akademisi UI Sebut Demokrasi Terancam

Pelanggaran Konstitusi oleh DPR: Akademisi UI Sebut Demokrasi Terancam
Pelanggaran Konstitusi oleh DPR: Akademisi UI Sebut Demokrasi Terancam

C&R TV – Selama lima tahun terakhir, demokrasi di Indonesia dinilai semakin suram. Para pengamat dan akademisi mengkritik bahwa berbagai tindakan pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo justru membawa kemunduran bagi demokrasi. Kondisi ini semakin diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia terancam oleh praktik-praktik kekuasaan yang disebut sebagai “autocratic legalism.”

Salah satu kasus yang paling disorot adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019 dan pembuatan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020. Kedua langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan mengikis sendi-sendi demokrasi.

Bacaan Lainnya

Tidak hanya itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 yang dinilai menguntungkan kepentingan elit politik tertentu juga mendapatkan kritik tajam. Para akademisi menilai bahwa putusan ini memberikan “karpet merah” bagi pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, termasuk pengaturan usia minimal calon kepala daerah yang dianggap kontroversial.

Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengabaikan putusan MK merupakan bentuk pelanggaran konstitusi. “Ini adalah pelanggaran konstitusi yang dilakukan secara sistematis oleh penguasa. Putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun, kenyataannya, DPR dan pemerintah justru seolah mengabaikannya,” tegasnya saat memberikan pernyataan.

Dewan Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia juga turut angkat bicara, menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Mahkamah Konstitusi untuk mendukung putusan tersebut. Dalam aksinya, mereka menyatakan bahwa pemerintah seharusnya menghormati setiap keputusan MK yang menjadi penjaga konstitusi dan demokrasi.

“Putusan MK adalah angin segar bagi demokrasi, namun Baleg DPR justru mencederai hal tersebut dengan tindakan yang bertentangan dengan konstitusi,” ungkap Prof. Ubedilah Badrun, seorang akademisi dari Universitas Negeri Jakarta.

Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan kepala daerah juga menjadi sorotan. Pada Senin lalu, MK memutuskan bahwa ambang batas minimal pencalonan kepala daerah sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara sah tidak lagi berlaku. Sebagai gantinya, ambang batas tersebut kini disesuaikan dengan jumlah penduduk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), berkisar antara 6,5 hingga 10%. Keputusan ini bertujuan untuk memberikan ruang lebih bagi partai politik atau gabungan partai politik dalam berkontestasi di pemilihan kepala daerah.

Namun, revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah oleh DPR yang mengabaikan putusan MK tersebut mengundang kekhawatiran. “Tidak ada dasar filosofis, yuridis, maupun sosiologis yang dapat membenarkan revisi ini. Ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi dan konstitusi,” tambah Prof. Sulistyowati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *