C&R TV – Pada awal tahun 2025, pemerintah Indonesia akan secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Langkah ini diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran. Namun, di balik tujuan yang terlihat mulia, kebijakan ini memunculkan serangkaian pertanyaan besar: apakah langkah ini benar-benar adil bagi semua lapisan masyarakat? Ataukah justru menjadi beban tambahan, terutama bagi mereka yang sudah berjuang untuk bertahan hidup?
Narasi Pemerintah: Meningkatkan Penerimaan Negara
Dalam penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani, kenaikan PPN dianggap masih dalam batas wajar jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Bahkan, Indonesia disebut memiliki tarif PPN yang relatif rendah. Namun, narasi ini tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan. Beberapa negara, seperti Vietnam, justru menurunkan tarif pajak untuk mendorong daya beli masyarakatnya. Sebaliknya, Indonesia mengambil langkah yang berpotensi memperparah tekanan ekonomi bagi kelas menengah ke bawah.
Barang-barang yang akan terkena tarif PPN 12% meliputi bahan pangan premium seperti beras kualitas tinggi, buah impor, serta seafood seperti salmon, tuna, udang, dan kepiting premium. Selain itu, sektor jasa seperti pendidikan dan layanan medis premium, serta konsumsi listrik dengan daya tertentu, juga akan dikenakan tarif baru. Bahkan, layanan digital seperti Netflix dan Spotify tidak luput dari kebijakan ini.