C&R TV – Pemerintah Indonesia dengan gagah memperkenalkan proyek ambisiusnya—Food Estate di Sumatra Utara—sebagai jawaban atas krisis pangan global dan ketahanan pangan nasional. Gagasan ini, di atas kertas, tampak sempurna: pengelolaan lahan pertanian skala besar yang diyakini akan meningkatkan produksi pangan secara signifikan. Namun, di balik retorika gemilang yang dilontarkan pemerintah, muncul pertanyaan mendesak: untuk siapa sebenarnya lumbung pangan ini dibangun? Apakah untuk kepentingan rakyat, atau justru menguntungkan segelintir pihak yang memegang kuasa atas lahan dan distribusi pangan?
Antara Mimpi dan Realita
Kita tidak bisa menutup mata pada kebutuhan Indonesia akan ketahanan pangan. Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman krisis pangan semakin nyata, baik karena perubahan iklim maupun gangguan rantai pasokan global. Oleh karena itu, proyek Food Estate dikemas sebagai solusi yang siap menghadapi masa depan—memastikan ketersediaan pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor.
Namun, narasi ini layak dicermati dengan lebih kritis. Apa benar proyek ini benar-benar akan memberi makan bangsa? Ataukah, seperti banyak proyek infrastruktur besar lainnya, akan terseret oleh kepentingan korporasi besar dan para penguasa lahan?
Pembangunan Food Estate yang seharusnya membawa kesejahteraan justru menghadirkan serangkaian pertanyaan yang menuntut jawaban. Misalnya, siapakah yang mendapatkan keuntungan terbesar dari lahan pertanian berskala raksasa ini? Apakah petani lokal, atau para investor besar yang lebih mementingkan profit daripada kesejahteraan masyarakat setempat?
Ketimpangan Baru di Tanah Lama
Kita tahu, Sumatra Utara adalah salah satu wilayah dengan potensi pertanian yang besar. Namun, potensi ini bukan tanpa risiko. Ketika tanah-tanah subur diserahkan kepada perusahaan besar untuk dikelola, apa yang akan terjadi pada masyarakat adat dan petani kecil yang telah bergantung pada tanah itu selama bertahun-tahun?
Food Estate bukan sekadar proyek pertanian; ia adalah proyek yang menyulut pergeseran kepemilikan tanah secara besar-besaran. Tanah yang dulunya dimiliki dan diolah oleh masyarakat lokal kini bisa saja beralih ke tangan pengusaha. Akibatnya, banyak komunitas yang terancam terusir dari tanah mereka sendiri, menjadi buruh di ladang yang dulu mereka miliki. Ini adalah ironi yang pahit: demi meningkatkan produksi pangan, kita justru meminggirkan mereka yang seharusnya menjadi produsen utama.
Tidak hanya itu, dampak sosial dari proyek ini bisa meluas lebih jauh. Ketika tanah dikuasai oleh segelintir elite, kita memperkuat ketimpangan yang sudah lama mengakar di pedesaan Indonesia. Apakah kesejahteraan nasional bisa dicapai dengan mengorbankan hak-hak petani kecil dan masyarakat adat?
Mengancam Lestarinya Alam
Di balik janji peningkatan produksi pangan, proyek Food Estate membawa ancaman bagi kelestarian lingkungan. Pembukaan lahan besar-besaran untuk pertanian intensif hampir selalu diiringi dengan penggundulan hutan, perubahan bentang alam, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dampaknya bisa sangat luas, mulai dari perubahan iklim mikro hingga kerusakan habitat yang tak tergantikan.
Pertanyaan yang harus kita ajukan adalah: apakah peningkatan produksi pangan harus dilakukan dengan mengorbankan lingkungan? Apakah ada cara untuk menjalankan proyek pertanian skala besar tanpa merusak ekosistem alam yang telah ada? Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa proyek-proyek pertanian masif sering kali mengabaikan dampak ekologis, dengan dalih mengejar produktivitas jangka pendek.
Di Sumatra Utara, wilayah yang kaya akan hutan tropis dan keragaman hayati, kita menghadapi risiko kehilangan yang lebih besar jika proyek Food Estate ini dijalankan tanpa memperhitungkan keberlanjutan ekologis.
Untuk Siapa Lumbung Pangan Ini?
Pada akhirnya, kita kembali ke pertanyaan mendasar: Untuk siapa lumbung pangan ini dibangun? Di permukaan, proyek ini mungkin tampak sebagai solusi cemerlang untuk mengatasi krisis pangan di masa depan. Tetapi ketika kita melihat lebih dalam, kita menemukan keraguan yang mendalam tentang siapa yang sebenarnya diuntungkan.
Jika Food Estate hanya menjadi alat bagi korporasi besar untuk memonopoli lahan dan produksi pangan, maka proyek ini berpotensi gagal dalam misinya yang seharusnya mulia. Ketahanan pangan sejati tidak bisa dicapai jika kita mengabaikan kesejahteraan petani kecil, menghancurkan lingkungan, dan membiarkan ketimpangan sosial semakin melebar.
Proyek sebesar ini membutuhkan pengawasan ketat dan partisipasi aktif dari masyarakat lokal. Tanpa itu, kita hanya akan membangun “lumbung pangan” yang bukan untuk mereka yang paling membutuhkan, melainkan untuk mereka yang sudah kaya dan berkuasa.
Sebagai bangsa, kita perlu bertanya lebih keras dan lebih sering: untuk siapa sebenarnya proyek ini dijalankan? Karena pada akhirnya, ketahanan pangan bukan hanya soal memproduksi lebih banyak makanan, tetapi juga tentang bagaimana pangan tersebut didistribusikan secara adil dan merata.
(Nugrahaivan/C&R TV)