C&R TV – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 telah menjadi topik perdebatan hangat di kalangan masyarakat dan pengamat ekonomi.
Meskipun pemerintah berdalih bahwa kebijakan ini didasarkan pada kebutuhan pembangunan dan perkembangan ekonomi, pertanyaan besar tetap menggantung: Apakah ini langkah bijak yang mempertimbangkan beban masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi global?
Apa Itu PPN dan Landasan Hukumnya?
Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam wilayah Indonesia. Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), PPN didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi.
Berbeda dengan pajak langsung seperti Pajak Penghasilan (PPh), PPN bersifat tidak langsung karena pembayaran pajaknya dilakukan oleh konsumen akhir, sementara pemungutannya dilakukan oleh pelaku usaha.
Sebelum revisi UU HPP, tarif PPN diatur dalam UU PPN dengan besaran 10%. UU HPP kemudian menaikkan tarif tersebut menjadi 11% sejak 1 April 2022 dan lebih lanjut merencanakan kenaikan menjadi 12% pada 2025. Secara legal, tarif ini dapat dimodifikasi dalam rentang 5% hingga 15%, bergantung pada kebutuhan dana pembangunan atau perkembangan ekonomi.
Namun, narasi pemerintah tentang kenaikan tarif ini sering kali terbungkus dalam klaim yang bersifat teknokratis dan jauh dari realitas beban masyarakat sehari-hari.