C&R TV, Jakarta – Setiap memasuki bulan Muharam, umat Islam diajak kembali merenungkan makna hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan pergeseran total dalam sikap hidup—dari keterpurukan menuju kehidupan yang lebih bermartabat, berlandaskan ajaran Islam.
Sayangnya, pemahaman terhadap bulan Muharam di masyarakat justru sering melenceng. Banyak yang menganggap Muharam sebagai bulan sial, sehingga enggan melangsungkan pernikahan atau memulai usaha. Lebih ironis lagi, sebagian masyarakat justru lebih sibuk dengan ritual-ritual budaya yang menyimpang dari tauhid, dibandingkan memperkuat nilai-nilai agama.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra‘d: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan sejati datang dari dalam diri. Muharam harus menjadi momen penting untuk berhijrah—meninggalkan kebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti gaya hidup konsumtif, pamer kekayaan (flexing), kebiasaan bergosip, hingga korupsi dan ketidakadilan dalam pekerjaan.
Rasulullah ﷺ pun bersabda:
“Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari)
Bulan Muharam menandai awal tahun baru hijriah. Ini adalah waktu yang tepat untuk muhasabah (introspeksi diri). Apakah aktivitas harian kita mendekatkan diri pada Allah, atau justru menjauhkan? Apakah kita lebih sering melakukan amal saleh atau terjebak dalam rutinitas duniawi yang kosong makna?
Rasulullah ﷺ bersabda lagi:
“Orang yang cerdas adalah yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.” (HR. Tirmidzi)
Dalam konteks hari ini, hijrah bisa diwujudkan dalam bentuk sederhana namun berdampak besar. Misalnya, memperbaiki salat, menghindari komentar kasar di media sosial, menjaga lisan dari ghibah, dan memperbanyak tilawah Al-Qur’an. Di lingkungan kerja, hijrah bisa berarti menolak suap, bersikap adil, serta menebar kebaikan.