C&R TV — Dalam dunia bisnis Indonesia, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menjadi mitra strategis bagi pemerintah dalam berbagai sektor. KADIN, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987, telah menjadi satu-satunya induk organisasi yang mewadahi dunia usaha, mulai dari usaha negara, koperasi, hingga swasta. Jaringan luas KADIN, yang mencakup provinsi hingga kabupaten/kota di seluruh Indonesia, menjadikannya pilar penting dalam mendukung perdagangan dan investasi nasional.
Namun, di tengah pengaruh besar ini, KADIN saat ini tengah menghadapi ujian berat—perpecahan dalam kepemimpinan. Dualisme di tubuh KADIN kini menjadi perbincangan hangat, menciptakan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan pengusaha. Pertanyaan terbesar yang kini bergaung adalah: apa dampak perpecahan ini terhadap iklim bisnis dan investasi di Indonesia?
Kepemimpinan yang Terbelah
Permasalahan ini bermula dari Musyawarah Nasional (Munas) KADIN di Kendari, Sulawesi Tenggara pada tahun 2021, di mana Arsyad Rasyid terpilih sebagai Ketua Umum KADIN periode 2021-2026. Arsyad, dengan dukungan kuat dari berbagai elemen bisnis, diakui sebagai pemimpin resmi. Namun, pada 14 September 2024, muncul klaim baru dari Anindya Bakrie, yang mengumumkan dirinya sebagai Ketua Umum KADIN versi Musyawarah Luar Biasa (Munaslub).
Klaim Anindya memicu reaksi kuat di kalangan pengusaha dan asosiasi bisnis, yang terbelah antara mendukung Arsyad atau Anindya. Musyawarah Luar Biasa yang digelar Anindya disebut-sebut merupakan inisiatif dari KADIN daerah dan anggota luar biasa, yang merasa perlu adanya perubahan kepemimpinan. Di sisi lain, Arsyad menegaskan bahwa tidak ada kepentingan politik atau intervensi dari luar dalam perpecahan ini, dan menuduh adanya segelintir kelompok yang mengambil tindakan di luar prosedur.
Pengusaha Galau
Perpecahan di tubuh KADIN ini tidak hanya mengguncang organisasi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian bagi para pengusaha yang selama ini mengandalkan KADIN sebagai payung besar mereka. Nandi Herdiaman, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), menyatakan kekecewaannya dengan situasi ini. Menurutnya, masalah KADIN harus segera diselesaikan karena industri konveksi dan tekstil yang menjadi penopang ekonomi di hilir sedang mengalami krisis.
“Kami sudah betul-betul kritis, tidak bisa main-main,” tegas Nandi. Ia menjelaskan bahwa jika sektor hilir runtuh, maka seluruh struktur ekonomi akan ikut ambruk, terlepas dari siapa pun elit politik yang berkuasa di puncak.
Tak hanya industri konveksi, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki juga menghadapi tantangan besar. PMI (Purchasing Managers’ Index) manufaktur Indonesia anjlok ke angka 48,8 pada Agustus 2024, menandakan kontraksi di sektor tersebut. Bahkan, antara Januari hingga Mei 2024, sebanyak 20 hingga 30 pabrik tekstil tutup dan menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih dari 10.800 pekerja. Keadaan ini tentu memperburuk situasi di tengah ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perpecahan KADIN.
Industri Kelapa Sawit
Perpecahan ini juga menghantam sektor kelapa sawit, salah satu industri andalan Indonesia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Edi Martono, menyatakan bahwa masalah di KADIN harus segera diselesaikan agar dunia usaha bisa mendapatkan kepastian dan kenyamanan berusaha.
Industri kelapa sawit sendiri sedang menghadapi tiga tantangan besar sepanjang 2024. Pertama, melemahnya pasar ekspor akibat persaingan harga minyak nabati di pasar global. Kedua, penurunan produksi kelapa sawit yang menekan industri dari dalam. Ketiga, regulasi Uni Eropa tentang undang-undang bebas deforestasi yang melarang produk yang berasal dari lahan deforestasi setelah 31 Desember 2020, termasuk minyak kelapa sawit, untuk masuk ke pasar Eropa.
Tak hanya itu, realisasi Domestic Market Obligation (DMO) atau kewajiban pasokan dalam negeri untuk minyak kelapa sawit pada November 2023 hingga Januari 2024 berada di bawah target bulanan yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar 300.000 ton. Hal ini semakin menambah tekanan pada industri kelapa sawit, yang kini berharap agar KADIN, sebagai organisasi pengusaha induk, bisa segera menyelesaikan konfliknya dan kembali memberikan dukungan pada dunia usaha.
Menjaga Stabilitas Sosial dan Ekonomi
Kehadiran KADIN bukan hanya sebagai wadah bagi para pengusaha, melainkan juga pilar penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di Indonesia. Kekecewaan atas perpecahan ini tidak hanya datang dari pengusaha, tetapi juga dari masyarakat luas yang khawatir akan dampak negatif yang lebih luas, seperti PHK massal dan penurunan daya beli masyarakat.
Meski demikian, Arsyad Rasyid menegaskan bahwa tidak ada intervensi politik di balik Munaslub yang digelar oleh pihak Anindya Bakrie. Ia menyebut bahwa yang terjadi hanyalah sekelompok kecil orang yang berusaha mengambil alih kepemimpinan KADIN dengan cara yang tidak sah. Di pihak lain, Anindya membantah adanya campur tangan dari pihak luar, dan menyatakan bahwa Munaslub ini diinisiasi oleh KADIN daerah dan anggota luar biasa.
Perpecahan ini meninggalkan banyak pertanyaan bagi dunia usaha. Jika tidak segera diselesaikan, potensi dampak jangka panjang bagi ekonomi Indonesia bisa semakin serius. Pengusaha berharap bahwa KADIN dapat segera meredakan konflik internalnya dan kembali fokus pada tugas utamanya: mendukung pertumbuhan bisnis dan investasi di Indonesia.
Saat ini, dunia usaha membutuhkan stabilitas lebih dari sebelumnya. Di tengah tantangan global, seperti penurunan produksi, persaingan pasar, dan regulasi yang semakin ketat, KADIN sebagai organisasi pengusaha memiliki peran krusial dalam memberikan perlindungan dan arahan. Namun, apakah KADIN mampu bangkit dari perpecahan ini dan kembali menjadi mitra strategis bagi para pengusaha? Hanya waktu yang akan menjawab. Yang pasti, para pengusaha Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan yang penuh ketidakpastian.